Batik Bogor Tradisiku: UMKM Inspiratif yang Mampu Terjang Pasar Mancanegara

Batik bisa dikatakan merupakan sebuah budaya Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi karena memiliki nilai seni yang tinggi. Maka dari itu tak sedikit masyarakat yang melihat batik sebagai peluang bisnis menjanjikan karena memiliki motif eksotis berdaya jual tinggi.

Profil Batik Bogor Tradisiku, UMKM Lokal yang Mendunia

Batik Bogor Tradisiku, sebuah  Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berhasil mendunia. Kini, UMKM yang sudah berdiri sejak 15 Januari 2008 tersebut dikelola oleh Lisha Luthfiana. 

Batik Bogor Tradisiku berdiri dari rasa empati. Saat gempa Yogyakarta 2006, keluarga Lisha memboyong para pengrajin batik di sana untuk bekerja di tempat usahanya. 

Berkat kerja keras bersama, Batik Bogor Tradisiku punya produk beragam,  yakni pernak-pernik, tas, pakaian hingga pot keramik. “Produk kami bisa dipesan kustom dalam jumlah banyak. Bahkan, pesanan partai kecil maupun wholesale-pun tetap kami layani dengan warna dan kualitas terbaik,” tutur Lisha pada Temumkm melalui telepon, Selasa (18/2/2025).

Strategi dan Tantangan Adaptasi Batik Bogor Tradisiku di Pasar Internasional

Berbagai rintangan bukan menjadi penghalang Batik Bogor Tradisiku untuk terus berkembang. UMKM yang berlokasi di wilayah Warung Jambu tersebut berhasil melebarkan sayapnya hingga mancanegara melalui pameran, kerja sama dengan pemerintah dan juga tour guide sekitar.

Awalnya, Batik Bogor Tradisiku mengekspor dengan cara tidak langsung, yakni turis asing yang langsung mengunjungi galeri. Selain itu, tour guide pun tak jarang yang mengarahkan turis untuk membeli langsung ke Batik Bogor Tradisiku.

Saat 2012₋2013, Lisha terpilih berkolaborasi dengan desainer Jepang melalui program kerja sama Kementerian Perindustrian dengan Japan External Trade Organization (JETRO). “Jadi kami membuat batik sesuai taste konsumen Jepang, misalkan kaya warna indigo, seperti biru atau putih. Lalu, motifnya itu lebih ke terlihat yang simpel,” ucap Lisha.

Ketika itu, Lisha mulai memahami perbedaan pasaran fashion di Indonesia dengan Jepang. “Kalau di Jepang, kan erat denga mesin, jadi mereka lebih sukanya sesuatu yang perfect. Sedangkan di Indonesia, kita tahu, kalau buatan tangan yang tidak perfect menjadikannya lebih mahal. Ini way of thinking yang berbeda,” ungkapnya.

Tantangan lain pun dialami saat ekspor kerajinan pot mozaik batik ke Belanda. Dekorasi berbahan plastik, gerabah, ataupun keramik tersebut membuatnya perlu menambah biaya pengemasan yang lebih mahal kepada ekspedisi.

“Contohnya, pot batik plastik saat 2012 harganya sekitar 350 ribu rupiah. Tapi, ekspedisi saat itu belum semarak saat ini. Nah, akhirnya, kami membayar 1,2 juta rupiah sebab di-packing dengan kayu gitu,” keluh Lisha.

Dengan kepiawannya menjaga mutu Batiknya, UMKM tersebut menjajaki pameran di Australia, Malaysia, Singapura, Malaysia, Belanda, dan lain-lain. Kemudian, kedutaan Indonesia di berbagai negara pun pernah bekerjasama dengannya. “jadi, nama kami sudah ada di database pengrajin Indonesia sehingga jika ada buyer di negara tersebut, bisa mengontak kami,” jelasnya.

Pada tantangan regulasi, Lisha mengaku tidak mengalaminya. Ia mengaku, mengirim produk ke mancanegara sama halnya seperti ke area lokal, hanya saja biayanya lebih tinggi. Terlebih lagi, barang yang dijualnya tidak serumit produk makanan yang membutuhkan sertifikasi halal

“Tentu produk kita halal dan ramah lingkungan, tapi kami belum punya sertifikat batik halal karena hukumnya tak wajib seperti makanan,” cakap Lisha.

Biaya dan Cuaca jadi Faktor Perkembangan Batik Bogor Tradisiku

Mempertahankan UMKM hingga dua dekade tidaklah mudah. Banyak tantangan yang perlu dilewati Batik Bogor Tradisiku untuk tetap eksis hingga sekarang. Faktor itu muncul dari berbagai aspek: harga bahan baku, Upah Minimum Kota (UMK), hingga cuaca Bogor.

Menurut Lisha, mempertahankan mutu terbaiknya dengan bahan baku terbatas menjadi tantantangan produksinya. Ketersediaan bahan baku di Bogor sangat terbatas sehingga UMKM-nya perlu membeli di Jakarta. “Obat warna dan mori bisa diperoleh dari luar Bogor akibatnya ada tambahan biaya transport,” keluhnya.

Selain itu, UMK Bogor—sekitar 5 juta rupiah—lebih tinggi dua kali lipat dibanding UMK Pekalongan. Hal ini, menurut Lisha, dapat berpengaruh pada Harga Pokok Penjualan (HPP).

Kemudian, cuaca Bogor yang relatif hujan berpengaruh pada produksi warna batik. Maka, Lisha menggarisbawahi perlunya pemahaman berbagai karakteristik warna batik serta perawatannya. 

“Berarti, saat hujan, jangan kita mewarnai pink pada kain batik. Cobalah dengan warna biru yang lebih stabil,” jelas Lisha.

Harapan untuk UMKM yang Berkelanjutan

Lisha berharap, industri batiknya bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan dukungan pemerintah. Mulai dari standar bahan baku, mengadakan pameran, atau ,menyelenggarakan korespondensi antara penjual dengan calon pembeli.

Perlunya produk lokal pada bahan baku produk bisa meningkatkan pertumbuhan UMKM. “Walaupun kain lokal lebih mahal daripada kain impor dari India, tapi hal itu bisa menjaga mutu batik kita, bahkan bisa membantu antar-UMKM,” tuturnya.

Lisha merasa penjualanan Batik Bogor Tradisiku bisa terdongkrak lewat pameran dan korespondensi. Namun, Lisha berharap produk pameran yang diselenggarakan bisa lebih terfokus pada satu produk supaya pengunjung pameran lebih tepat sasaran.

REPORTER: Febria Adha